Tuesday, March 21, 2017

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERUPA WHISTLEBLOWING SYSTEM

SISTEM INFORMASI MANAJEMEN BERUPA WHISTLEBLOWING SYSTEM

Pada artikel kali ini, saya akan membahas tentang sistem informasi manajemen yang berupa Whistleblowing System atau Prosedur Pelaporan Pelanggaran

Whistleblowing merupakan pengungkapan praktik illegal, tidak bermoral atau melanggar hukum yang dilakukan oleh anggota organisasi (baik mantan pegawai atau yang masih bekerja) yang terjadi di dalam organisasi tempat mereka bekerja.

Pada dasarnya whistleblowing system itu adalah sebuah sistem pencegahan dan identifikasi terhadap kecurangan yang akan terjadi dalam suatu perusahaan/organisasi.
Whistleblowing dibagi menjadi dua, yaitu : internal whistleblowing dan eksternal whistleblowing. Internal whistleblowing adalah whistleblowing kepada pihak di dalam organisasi atau melalui saluran yang disediakan organisasi. Sedangkan eksternal whistleblowing adalah pengungkapan kepada pihak di luar organisasi.

Saat ini whistleblowing system sudah banyak diterapkan di berbagai organisasi dan negara di dunia. Hal ini karena perusahaan yang gagal menciptakan situasi yang memungkinkan pelaporan pelanggaran secara internal, akan terlibat bencana. Untuk itu organisasi harus menciptakan suasana yang mendorong pegawai untuk melaporkan tindakan yang salah, sehingga bisa membuat tindakan yang salah tersebut dihentikan dan dikoreksi secepatnya. Melaporkan tindakan yang tidak benar adalah isu sosial yang penting dan memiliki manfaat yang banyak bagi berbagai stakeholder. Penghargaan terhadap pelapor (whistleblower) dan prosedur yang efektif untuk menangani laporan whistleblower oleh organisasi, dapat memberikan manfaat yang besar bagi organisasi dan para pegawainya.

Whistleblowing system memungkinkan penyalahgunaan wewenang dapat dengan cepat diidentifikasi dan dikoreksi sehingga bisa meningkatkan efisiensi, meningkatkan moral pegawai, menghindari tuntutan hukum, dan menghindari citra negatif. Namun whistleblowing system tidak akan berhasil jika hanya dibuat aturan dan tidak dipraktikkan. Untuk menjalankan sistem ini diperlukan peran aktif pegawai. Hal ini disebabkan orang biasa tidak bisa menjadi whistleblower, hanya orang di dalam organisasi yang mampu melakukannya. Anggota organisasi merupakan sumber daya yang berharga untuk meminimalisasi kecurangan.

Pegawai memiliki peranan penting dalam whistleblowing system, karena pegawai adalah sumber untuk mendeteksi hal-hal yang salah. Jika pegawai tidak peduli dengan program ini maka pelaksanaannya pun akan gagal. Dengan demikian harus ada orang di dalam organisasi yang mau melaporkan jika menemukan penyalahgunaan wewenang atau kecurangan di organisasi.

Riset menunjukkan bahwa motivasi orang untuk menjadi seorang whistleblower bermacam-macam. Keputusan seseorang untuk menjadi whistleblower mungkin dipengaruhi variabel individu atau konteks organisasi. Variabel individu misalnya biaya dan manfaat (cost and benefit), usia, status perkawinan, pendidikan. Konteks organsisasi seperti misalnya faktor budaya etis (ethical culture), iklim etis (ethical climate), ukuran organisasi, struktur organisasi dan saluran komunikasi. Namun penelitian yang dilakukan Miceli dan Near menunjukkan bahwa pengaruh konteks organisasi lebih banyak menentukan keputusan seseorang menjadi whistleblower, jika dibandingkan dengan pengaruh variabel individu. Konteks organisasilah yang membuat whistleblowing menjadi permasalahan moral.

tindakan seseorang dalam organisasi apabila terjadi perilaku yang melanggar etika organisasi, adalah mengabaikan (inaction), menegur langsung atau berkonfrontasi dengan pelaku (confronting with the wrongdoer), lapor pada atasan (reporting to management), lapor melalui saluran internal organisasi (calling internal hotline), dan lapor melalui saluran di luar organisasi (external whistleblowing). kelima tindakan tersebut dipicu oleh adanya faktor dalam organisasi yang disebut Ethical Culture.

Ethical culture dapat diketahui dengan empirical tested study menggunakan Corporate Ethical Virtues Model, model ini meliputi tujuh variabel yaitu clarity, congruency senior management and local management, feasibility, supportability, transparency, discussability, dan sanctionability. Variabel kejelasan (clarity) adalah bagaimana organisasi membuat aturan etika, seperti nilai, norma atau prinsip menjadi sesuatu yang nyata dan dipahami oleh karyawan. Derajat kejelasan menunjukkan tingkat pemahaman para pegawai pada perilaku yang diharapkan oleh organisasi terhadap mereka. Kesesuaian (congruency) senior management and local management, adalah peran atasan sebagai role model atau menjadi contoh penerapan standar etika di organisasi atau sejauh mana atasan menerapkan standar etika dalam perilaku mereka sehari-hari.

Perilaku atasan diharapkan bisa menguatkan standar etika yang berlaku dan meningkatkan kepercayaan karyawan terhadap atasan. Organisasi bisa saja membuat kode etik yang jelas untuk mengarahkan perilaku anggotanya, tetapi jika atasan sebagai sumber perilaku normatif yang penting dalam organisasi menunjukkan perilaku berlawanan, maka para pegawai akan dihadapkan pada ketidaksesuaian atau pesan yang tidak konsisten.

Kemungkinan dilaksanakan (feasibility) adalah ketersediaan waktu, anggaran, peralatan, informasi, dan wewenang di dalam organisasi yang memungkinkan karyawan melaksanakan tugas-tugas mereka. Feasibility juga terkait dengan faktor sumber daya perusahaan yang membuat whistleblower system ini berjalan. Sebagai contoh, karyawan yang terlalu sibuk dengan pekerjaan cenderung tidak peduli dengan lingkungan sehingga memperkecil kemungkinan menjadi whistleblower.
Dukungan (supportability) adalah sejauh mana organisasi menciptakan suasana yang mendukung tindakan etis. Dukungan bisa berupa suasana yang kondusif di dalam organisasi sehingga karyawan merasa nyaman untuk bertindak etis. Organisasi bisa memperkuat aspek dukungan ini antara lain dengan mengadakan internalisasi kode etik kepada para karyawan di dalam organisasi, sehingga membuat karyawan makin berkomitmen dengan kode etik organisasi. Sedangkan transparency adalah tingkatan dimana tindakan bagi pelaku pelanggaran etika atau konsekuensinya dapat dilihat secara nyata oleh internal perusahaan.

Banyak manfaat yang didapat melalui penerapan Whistleblowing System secara efektif, antara lain:
Tersedianya informasi kunci dan kritikal (critical & key information) bagi perusahaan kepada pihak yang harus segera menanganinya secara aman dan terkendali.
Dengan semakin meningkatnya kesediaan untuk melaporkan terjadinya berbagai pelanggaran, maka timbul rasa keengganan untuk melakukan pelanggaran karena kepercayaan terhadap sistem pelaporan yang efektif.
Tersedianya mekanisme deteksi dini (early warning mechanism) atas kemungkinan terjadinya masalah yang diakibatkan adanya suatu pelanggaran.
Mengurangi/ meminimalisir risiko yang dihadapi organisasi (perusahaan) akibat pelanggaran baik dari segi keuangan, operasi, hukum, keselamatan kerja dan reputasi.
Mengurangi biaya (cost reduction) dalam mengelola akibat terjadinya suatu pelanggaran.
Meningkatnya reputasi perusahaan dimata pemangku kepentingan (stakeholders), regulator, dan masyarakat umum (publik). (Salman Nusindo)

0 comments:

Post a Comment